Selasa, 30 Juni 2009

Terjajah di negeri sendiri

SUNGGUH ironis nasib lada putih Bangka (Muntok white pepper). Sejak komuditas rempah-rempah ini dimonopoli oleh serikat dagang Belanda (VOC) tidak ada perubahan sama sekali. Lada dijual dalam bentuk primer. Setelah dipanen, direndam, jemur, bulir lada Bangka dengan aroma dan rasa pedas yang khas itu dijual ke pedagang pengumpul.
Lalu ditampung untuk selanjutnya diekspor. Tanpa sentuhan teknologi untuk diversivikasi produk.

Begitu pula dengan pengembangan kebun lada para petani. Berabad-abad dikelola dengan pengetahuan yang mereka miliki. Petani seolah berhadapan sendirian saat menghadapi seluruh permasalahan lada. Mulai penyakit, hama, kualitas produk dan pemanfaatan lahan.

Wajarlah, ketika negara lain seperti Vietnam menerapkan teknologi perkebunan lada, muntok white pepper yang tersohor sejak masa VOC itu kehilangan pamor. Kualitas tertinggal dengan produksi minim. Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan lada dunia, khususnya dari Babel sudah berpuluh-puluh tahun ini tertinggal. Porsi pasokan lada Indoensia tersisa 30 persen saja.

Komoditi lada mempunyai peran strategis secara ekonomis, historis, sosilologis dan geogarfis itu kini tinggal kenangan. Para petani tak berdaya ketika hasil panen itu tak memiliki harga lagi. Setelah terbuang dari kancah perdagangan lada dunia, lada komuditas yang sempat menaikkan derajat ekonomi petani itu nyaris terbuang di kampung sendiri.

Beribu-ribu hektar tanaman lada ditelantarkan bahkan dibuang. Kebun dengan tanah yang subur tak jarang tergerus oleh aktivitas tambang. Petani lada juga tak tahan dengan godaaan perkebunan tanaman sawit yang sangat ekspansif.

Masih Prospektif

Realita memang seperti itu. Lada benar-benar tak menjanjikan. Hanya saja tak sepenuhnya benar sebab belum pernah dilakukan pengembangan lada secara konsisten dengan teknologi dan diversivikasi produk. Kebijakan pengembangan pun tidak dilakukan secara berkelanjutan.

"Prospek lada di masa mendatang cukup baik karena selain terjadinya peningkatan konsumsi dalam negeri juga berkembangnya industri makanan, minuman, dan farmasi serta spa yang menggunakan bahan baku lada," kata Ir Rizky Muis Direktur Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar Departemen Pertanian di depan puluhan peserta Workshop Revitalisasi Lada Putih Bangka Belitung, Kamis (25/6) lalu di Serrata Teracca Hotel.

Pendapat Rizky cukup beralasan, masa lalu lada putih Bangka gilang-gemilang. "Di tingkat dunia, lada Indonesia dikenal dengan citra rasa dan aroma yang khas. Muntok white pepper dan black white pepper brand yang cukup dikenal di dunia," sambung Rizky.

Oleh sebab itu lada, lanjut Rizky ketika masa kejayaan rempah-rempah menyandang predikat rajanya rempah (King od Speces) karena mencapai nomor satu dunia. Lada merupakan komoditas ekspor tertua yang diperdagangkan ke luar negeri. Tak kalah pentingnya hampir seluruh usaha lada dikelola oleh rakyat.

"Apabila satu KK memiliki lima anggota, maka usaha lada menghidupi 1,6 juta orang belum termasuk yang terlibat dalam rantai perdagangan dan industri," tandasnya.

Itulah peran dan arti penting lada. Kini semaua kegemilangan lada mulai pudar. "Sejak Vietnam mengembangkan lada, posisi Indonesia di pasar dunia melorot drastis," ujar Rizky.

"Dalam satu dasawarsa terakhir situasi perkebunan lada kita mengalamai kemunduran di semua segi, luas tanaman, produksi dan ekspor mengalami kemunduran drastis. Terlebih-lebih segi inovasi hampir tidak ada kemajuan sama sekali," sambung Dr Ir HAM Syakir Kepala Pusat Litbang Perkebunan Departemen Pertanian di sela-sela Workshop Revtalisasi Lada.

Lalu Syakir mencontohkan Babel sebagai sentra produksi lada putih di Indonesia saat ini terbengkalai. "Kondisi sebagai besar tanaman petani sangat memprihatinkan. Pemeliharaan sangat minim bahkan tanpa pemeliharaan," ujarnya.

Diguncang Harga

Banyak faktor membuat lada tadi kehilangan pamor. Yang utama menurut Syakir adalah faktor harga lada yang rendah. "Gejolak harga yang besar sehingga tidak cukup menarik bagi petani. Selain itu tanaman ini tidak berkayu dan merambat yang rentan terhadap penyakit, terutama infeksi jamur, bakteri, bahkan mematoda. Ini sangat pelik karena menimbulkan kerugian besar bagi petani," tukasnya.

Faktor harga dan serangan penyakit menyebabkan petani meninggalkan tanaman lada mereka beralih kepada komuditas perkebuan lainnya, seperti karet, kakao, terlebih-lebih kelapa sawit.

"Padahal secara crop ecologis tanaman lada lebih sesuai dibandingkan dengan timah yang merusak lingkungan. Demikan pula dengan kelapa sawit yang menghendaki radiasi surya tinggi," ujar Syakir.

Jika ingin lada Babel tetap terasa pedas, mau tak mau, dengan pengelolaan tanaman yang baik, komuditas ini masih memiliki daya saing yang lebih baik. Selain pengelolaan lada, Babel juga didukung oleh tipe iklim bimodial, yaitu adanya dua puncak musim kemarau yang sangat berpengaruh kepada bunga dan buah lada.

"Sejak VOC hingga sekarang komditas lada masih dijual primer, sentuhan teknologi rendah. Padahal kita memiliki para ahlinya. Konsisten menerapkan tekhnologi itu belum terlihat. Kalau ini dimaksimalkan dengan konsisten, era kejayaan itu bukan mustahil. Vietnam telah membuktikannnya," imbuh Syakir bersemangat.
Optimisme lada Babel bisa bangkit selain inovasi teknologi tanaman dan diversifikasi produk, peluang itu juga ditopang sejarah besar lada Babel.

"Brand Muntok white pepper dengan aroma dan rasa pedas yang kahs itu belum tergantikan. IPC telah melakukan perlindungan terhadap Muntok white pepper di pasar internasional dan brandnya telah didaftarkan di Departemen Hukum dan HAM," ujar Dede Kusuma Edi Idris dari Iternastional Pepper Community (IPC).

Untuk membangkitkan kejayaan lada putih itu juga IPC melalui pendanaan dari badan organisasi pangan dunia membuat proyek pengembangan tanaman lada di Babel. Nantinya proyek ini dapat dilanjutkan oleh pemerintah daerah setempat.

"Langkah untuk membangkitkan kejayaan lada ini harus cepat. Sebab kalau tidak, kita akan bedosa terhadap anak cucu, lada tinggal nama," ujar Dede.

Tinggal nama, memang sudah diambang. Sebab saat ini pun tanaman lada sudah mulai terbuang.

Kabupaten Bangka Selatan dan Bangka saja kebijakan pembangunan perkebunan sudah berorientasi pada kebun sawit. Khusus Bangka, perhatian terhadap petani lada nyaris tak ada sama sekali.

"Untuk saat ini, di Bangka lebih cenderung pada sawit rakyat. Dengan harga yang jatuh, petani kita sudah mengalih perhatian pada tanaman sawit," ujar Bupati Bangka Yusroni Yazid.

Saat ini hanya sebagian kecil saja, kata Yusroni petani lada di Bangka yang masih bertahan. "Lahan makin sulit, biaya produksi mahal, lada sudah tak efisien. Apalagi kalau di lahan itu ada timahnya. Akhirnya makin tahun produksi lada Bangka makin berkurang. Petani lebih berminat pada komuditas dan usaha yang lebih menguntungkan" tukasnya.

Terhadap rencana revitalisasi kejayaan lada Bangka, Yusroni menilai masih harus disusun rencana dengan pogram aksi yang konkrit. "Inilah yang harus kita bahas, prinsifnya kita di Bangka siap dengan rencana ini. Lahan lada yang masih ada kita intensifkan, baru dimulai lagi dengan ekstensifikasi dengan skala yang terbatas," jelas Yusroni.

Jika di Bangka tanama lada nyaris ditinggalkan, tak jauh beda dengan Bangka Selatan. Desa-desa di selatan ini dulunya menjadi produsen utama lada Babel beberapa diantaranya sudah mulai ditinggalkan. Namun masih terdapat petani lada di Basel yang masih bertahan. Pemkab Basel pun tetap memasukkan komoditas lada dalam unggulan perkebunan.

"Kita memang menyiapkan kawasan untuk perkebunan semacam lada. memang kita akui lahan dan produksi lada di Bangka Selatan turun drastis," kata Ahmad Damiri Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Tanaman Pangan Bangka Selatan.

Daerah Kecamatan Air Gegas masih dipertahankan sebagai kawasan perkebunan lada bersama beberapa di Kecamatan Payung. Saat ini diprkirakan tanaman lada petani di Basel skeitar 13.000 hektare.
Bahkan kata Damiri, Pemkab Bangka Selatan tiap tahun menganggarkan dana ratusan juta untuk membantu perkebunan lada petani.

0 Comments:

Post a Comment