Selasa, 30 Juni 2009

MAsalah Jilbab

Inilah hebatnya qur'an, penganut yang sama bisa memahami pesan yang sama
maka implementasipun mejadi beda. Saya jadi ingat anekdote demikian :

Suatu ketika ada orang yang kaya raya di negerinya (sebut saja di antah
barantah) sakit keras, dan merasa ajalnya akan tiba maka dipanggilnya dua
anak lelakinya yang merupakan ahliwaris yang sah. Sang ayah berkata,
"anak-anakku ajalku akan tiba, silakan hartaku dibagi sesuai hukum yang
berlaku, namun aku ada pesan untuk kalian, insya Allah kalau kalian akan
menjalankan petuahku ini, kalian akan sukses dalam berbisnis". Kedua anak
lelakinya dengan khusyu' menyimak pesan terakhir sang
ayahanda."anak-anakku, ada tiga hal yang bisa aku wasiyatkan yaitu 1)
jangan biarkan dirimu terkena sinar matahari, 2) jangan suka menagih
hutang, dan 3 ) perbanyaklah sedekah menolang orang yang membutuhkan".
Setelah menyampaikan pesan demikian sang ayahpun menghadap sang Pencipta
menuju ke alam baka.

Maka setelah dimakamkan harta warisanpun dibagi sesuai hukum yang berlaku.
Maka tibalah sang kedua anak tsb mandiri dalam mengelola harta warisan
tanpa kehadiran sang ayah. Anak pertama mengimplementasikan pesan sang ayah
secara harfiyah maka langkah yang dilakukan adalah : 1) membangun
terowongan dari rumah ke kantor bisnis yang dia miliki (ia yakin dengan
membangun terowongan tsb ia bisa menghindari sinar matahari) maka biaya
untuk membangun terowongan tsb cukup signifikan alias besar dan sang anak
pertama ini datang ke kantorpun seenaknya sendiri kadang kesiangan
pulangnya pun cepat sebelum matahari terbenam. 2) Para debitur banyak
berdatangan mengajukan kredit semuanya disetujui tanpa diseleksi kelayakan
dan bonaviditasnya, namun sesuai pesan sang ayahanda, anak pertama ini
tidak menagihnya meskipun sudah jatuh tempo. dan 3) Setiap orang minta
sumbangan diberikan meskipun yang mengajukan permohonan itu digunakan untuk
membiayai bisnis maksiat. Pendek kata semua pesan / wasiat ayahnya sudah
dikerjakan sesuai pemahamannya tersebut. Al hasil sang anak pertama ini
bangkrut dalam waktu yang relatif pendek dan diapun mencoba bersilaturahmi
kepada adiknya yang ternyata sukses. Sang kakak ingin sharing dengan sang
adik bagaimana dia mengamalkan wasiat almarhum sang ayah.

Maka sang adikpun menceritakan cara dia menerapkan pesan sang ayah, yang
dilakukan sang adik adalah 1) tidak pernah terlintas untuk membangun
terowongan bawah tanah demi menghindari sinar matahari, sang adik berangkat
kerja pagi sebelum matahari terbit, pulang setelah matahari terbenam. Alias
kerja keras dan smart, ia memanage dengan cermat bisnis usahanya, 2) Sang
adik memang tidak pernah menagih hutang kepada debiturnya, karena
menerapkan seleksi ketas aspek kelayakan dan bonaviditas sang debitur
tertutama kemampuan membayar hutang baik jangka pendek maupun jangka
panjang, al hasil debitur gak pernah menunggak maka pesan sang ayahpun
sudah terlaksana dengan tepat. 3) Sang adik juga suka sedekah tetapi
selektif tetap diberlakukan yaitu kalau sumbangannya itu dipakai untuk
bisnis maksiat dia tolak karena mengharap rdho dan berkah dari yang Maha
kuasa. Al hasil sang adik sukses besar.

Tentu saja kisah tersebut adalah fiktif dan boleh jadi terlalu sederhana,
namun paling tidak dari anekdote tsb kita bisa membandingkan bagaimana kita
memahami redaksi ayat qur'an tentang "jilbab" ada yang melihat secara
harfiyah dan ada yang tidak. Tentu saja anekdote yang saya sodorkan itu
tidak saya maksudkan untuk memojokkan penggemar harfiyah approach. Wallahu
a'lam, Allahlah yang Mahabenar. Semoga kita dihindarkan dari salah dan khilaf.

Terjajah di negeri sendiri

SUNGGUH ironis nasib lada putih Bangka (Muntok white pepper). Sejak komuditas rempah-rempah ini dimonopoli oleh serikat dagang Belanda (VOC) tidak ada perubahan sama sekali. Lada dijual dalam bentuk primer. Setelah dipanen, direndam, jemur, bulir lada Bangka dengan aroma dan rasa pedas yang khas itu dijual ke pedagang pengumpul.
Lalu ditampung untuk selanjutnya diekspor. Tanpa sentuhan teknologi untuk diversivikasi produk.

Begitu pula dengan pengembangan kebun lada para petani. Berabad-abad dikelola dengan pengetahuan yang mereka miliki. Petani seolah berhadapan sendirian saat menghadapi seluruh permasalahan lada. Mulai penyakit, hama, kualitas produk dan pemanfaatan lahan.

Wajarlah, ketika negara lain seperti Vietnam menerapkan teknologi perkebunan lada, muntok white pepper yang tersohor sejak masa VOC itu kehilangan pamor. Kualitas tertinggal dengan produksi minim. Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan lada dunia, khususnya dari Babel sudah berpuluh-puluh tahun ini tertinggal. Porsi pasokan lada Indoensia tersisa 30 persen saja.

Komoditi lada mempunyai peran strategis secara ekonomis, historis, sosilologis dan geogarfis itu kini tinggal kenangan. Para petani tak berdaya ketika hasil panen itu tak memiliki harga lagi. Setelah terbuang dari kancah perdagangan lada dunia, lada komuditas yang sempat menaikkan derajat ekonomi petani itu nyaris terbuang di kampung sendiri.

Beribu-ribu hektar tanaman lada ditelantarkan bahkan dibuang. Kebun dengan tanah yang subur tak jarang tergerus oleh aktivitas tambang. Petani lada juga tak tahan dengan godaaan perkebunan tanaman sawit yang sangat ekspansif.

Masih Prospektif

Realita memang seperti itu. Lada benar-benar tak menjanjikan. Hanya saja tak sepenuhnya benar sebab belum pernah dilakukan pengembangan lada secara konsisten dengan teknologi dan diversivikasi produk. Kebijakan pengembangan pun tidak dilakukan secara berkelanjutan.

"Prospek lada di masa mendatang cukup baik karena selain terjadinya peningkatan konsumsi dalam negeri juga berkembangnya industri makanan, minuman, dan farmasi serta spa yang menggunakan bahan baku lada," kata Ir Rizky Muis Direktur Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar Departemen Pertanian di depan puluhan peserta Workshop Revitalisasi Lada Putih Bangka Belitung, Kamis (25/6) lalu di Serrata Teracca Hotel.

Pendapat Rizky cukup beralasan, masa lalu lada putih Bangka gilang-gemilang. "Di tingkat dunia, lada Indonesia dikenal dengan citra rasa dan aroma yang khas. Muntok white pepper dan black white pepper brand yang cukup dikenal di dunia," sambung Rizky.

Oleh sebab itu lada, lanjut Rizky ketika masa kejayaan rempah-rempah menyandang predikat rajanya rempah (King od Speces) karena mencapai nomor satu dunia. Lada merupakan komoditas ekspor tertua yang diperdagangkan ke luar negeri. Tak kalah pentingnya hampir seluruh usaha lada dikelola oleh rakyat.

"Apabila satu KK memiliki lima anggota, maka usaha lada menghidupi 1,6 juta orang belum termasuk yang terlibat dalam rantai perdagangan dan industri," tandasnya.

Itulah peran dan arti penting lada. Kini semaua kegemilangan lada mulai pudar. "Sejak Vietnam mengembangkan lada, posisi Indonesia di pasar dunia melorot drastis," ujar Rizky.

"Dalam satu dasawarsa terakhir situasi perkebunan lada kita mengalamai kemunduran di semua segi, luas tanaman, produksi dan ekspor mengalami kemunduran drastis. Terlebih-lebih segi inovasi hampir tidak ada kemajuan sama sekali," sambung Dr Ir HAM Syakir Kepala Pusat Litbang Perkebunan Departemen Pertanian di sela-sela Workshop Revtalisasi Lada.

Lalu Syakir mencontohkan Babel sebagai sentra produksi lada putih di Indonesia saat ini terbengkalai. "Kondisi sebagai besar tanaman petani sangat memprihatinkan. Pemeliharaan sangat minim bahkan tanpa pemeliharaan," ujarnya.

Diguncang Harga

Banyak faktor membuat lada tadi kehilangan pamor. Yang utama menurut Syakir adalah faktor harga lada yang rendah. "Gejolak harga yang besar sehingga tidak cukup menarik bagi petani. Selain itu tanaman ini tidak berkayu dan merambat yang rentan terhadap penyakit, terutama infeksi jamur, bakteri, bahkan mematoda. Ini sangat pelik karena menimbulkan kerugian besar bagi petani," tukasnya.

Faktor harga dan serangan penyakit menyebabkan petani meninggalkan tanaman lada mereka beralih kepada komuditas perkebuan lainnya, seperti karet, kakao, terlebih-lebih kelapa sawit.

"Padahal secara crop ecologis tanaman lada lebih sesuai dibandingkan dengan timah yang merusak lingkungan. Demikan pula dengan kelapa sawit yang menghendaki radiasi surya tinggi," ujar Syakir.

Jika ingin lada Babel tetap terasa pedas, mau tak mau, dengan pengelolaan tanaman yang baik, komuditas ini masih memiliki daya saing yang lebih baik. Selain pengelolaan lada, Babel juga didukung oleh tipe iklim bimodial, yaitu adanya dua puncak musim kemarau yang sangat berpengaruh kepada bunga dan buah lada.

"Sejak VOC hingga sekarang komditas lada masih dijual primer, sentuhan teknologi rendah. Padahal kita memiliki para ahlinya. Konsisten menerapkan tekhnologi itu belum terlihat. Kalau ini dimaksimalkan dengan konsisten, era kejayaan itu bukan mustahil. Vietnam telah membuktikannnya," imbuh Syakir bersemangat.
Optimisme lada Babel bisa bangkit selain inovasi teknologi tanaman dan diversifikasi produk, peluang itu juga ditopang sejarah besar lada Babel.

"Brand Muntok white pepper dengan aroma dan rasa pedas yang kahs itu belum tergantikan. IPC telah melakukan perlindungan terhadap Muntok white pepper di pasar internasional dan brandnya telah didaftarkan di Departemen Hukum dan HAM," ujar Dede Kusuma Edi Idris dari Iternastional Pepper Community (IPC).

Untuk membangkitkan kejayaan lada putih itu juga IPC melalui pendanaan dari badan organisasi pangan dunia membuat proyek pengembangan tanaman lada di Babel. Nantinya proyek ini dapat dilanjutkan oleh pemerintah daerah setempat.

"Langkah untuk membangkitkan kejayaan lada ini harus cepat. Sebab kalau tidak, kita akan bedosa terhadap anak cucu, lada tinggal nama," ujar Dede.

Tinggal nama, memang sudah diambang. Sebab saat ini pun tanaman lada sudah mulai terbuang.

Kabupaten Bangka Selatan dan Bangka saja kebijakan pembangunan perkebunan sudah berorientasi pada kebun sawit. Khusus Bangka, perhatian terhadap petani lada nyaris tak ada sama sekali.

"Untuk saat ini, di Bangka lebih cenderung pada sawit rakyat. Dengan harga yang jatuh, petani kita sudah mengalih perhatian pada tanaman sawit," ujar Bupati Bangka Yusroni Yazid.

Saat ini hanya sebagian kecil saja, kata Yusroni petani lada di Bangka yang masih bertahan. "Lahan makin sulit, biaya produksi mahal, lada sudah tak efisien. Apalagi kalau di lahan itu ada timahnya. Akhirnya makin tahun produksi lada Bangka makin berkurang. Petani lebih berminat pada komuditas dan usaha yang lebih menguntungkan" tukasnya.

Terhadap rencana revitalisasi kejayaan lada Bangka, Yusroni menilai masih harus disusun rencana dengan pogram aksi yang konkrit. "Inilah yang harus kita bahas, prinsifnya kita di Bangka siap dengan rencana ini. Lahan lada yang masih ada kita intensifkan, baru dimulai lagi dengan ekstensifikasi dengan skala yang terbatas," jelas Yusroni.

Jika di Bangka tanama lada nyaris ditinggalkan, tak jauh beda dengan Bangka Selatan. Desa-desa di selatan ini dulunya menjadi produsen utama lada Babel beberapa diantaranya sudah mulai ditinggalkan. Namun masih terdapat petani lada di Basel yang masih bertahan. Pemkab Basel pun tetap memasukkan komoditas lada dalam unggulan perkebunan.

"Kita memang menyiapkan kawasan untuk perkebunan semacam lada. memang kita akui lahan dan produksi lada di Bangka Selatan turun drastis," kata Ahmad Damiri Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Tanaman Pangan Bangka Selatan.

Daerah Kecamatan Air Gegas masih dipertahankan sebagai kawasan perkebunan lada bersama beberapa di Kecamatan Payung. Saat ini diprkirakan tanaman lada petani di Basel skeitar 13.000 hektare.
Bahkan kata Damiri, Pemkab Bangka Selatan tiap tahun menganggarkan dana ratusan juta untuk membantu perkebunan lada petani.

Jumat, 05 Juni 2009

Hibrida Bentuk Organisasi

Hibrida Bentuk Organisasi
Meskipun tiga jenis dasar-proprietorships organisasi, kemitraan, dan
perusahaan-perusahaan yang mendominasi pemandangan, beberapa hibrida formulir mendapatkan popularitas.
Misalnya, ada beberapa jenis khusus kemitraan yang agak
karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan "plain vanilla" saja. Pertama, adalah mungkin untuk membatasi kewajiban
beberapa mitra oleh membangun kemitraan terbatas, di mana beberapa
mitra dimaksudkan umum mitra mitra terbatas dan lain-lain. Dalam terbatas
kemitraan, yang bertanggung jawab adalah mitra terbatas hanya untuk jumlah investasi mereka
dalam kemitraan, sementara mitra umum mempunyai kewajiban tidak terbatas. Akan tetapi,
mitra yang terbatas biasanya tidak memiliki kontrol, yang terletak hanya dengan umum
mitra, dan mereka akan kembali juga terbatas. Terbatas dalam kemitraan yang umum
real estate, minyak, dan penyewaan peralatan Ventures. Namun, mereka tidak banyak digunakan dalam
umum situasi bisnis karena tidak ada satu mitra biasanya akan menjadi umum
mitra dan dengan itu menerima mayoritas bisnis risiko, sementara akan menjadi terbatas
mitra yang tidak bersedia memberikan kontrol atas semua.
Keterbatasan kewajiban kemitraan (LLP), kadang-kadang disebut sebagai tanggung jawab terbatas
perusahaan (LLC), yang relatif baru jenis kemitraan yang sekarang diperbolehkan di banyak
negara. Dalam kedua reguler dan kemitraan terbatas, setidaknya satu mitra yang bertanggung jawab untuk
hutang dari kemitraan. Namun, dalam LLP, semua mitra menikmati terbatas dengan kewajiban
Berkaitan dengan bisnis kewajiban, sehingga dalam hal bahwa mereka adalah sama dengan pemegang saham dalam
korporasi. Akibatnya, yang mengkombinasikan LLP terbatas keuntungan dari tanggung jawab korporasi
dengan pajak keuntungan dari kemitraan. Tentu saja, orang-orang yang melakukan bisnis dengan
LLP yang dibandingkan dengan biasa kemitraan yang menyadari situasi yang meningkatkan
risiko yang dihadapi oleh lender, pelanggan, dan lain-lain yang berhubungan dengan LLP.
Ada juga beberapa jenis perusahaan. Salah satu yang umum
di kalangan profesional seperti dokter, pengacara, dan akuntan yang profesional
korporasi (PC), atau di beberapa negara, asosiasi profesional (PA). Semua 50
statutes negara telah menetapkan bahwa persyaratan untuk perusahaan-perusahaan seperti itu, yang
memberikan sebagian besar keuntungan dari penggabungan tetapi tidak melepaskan para peserta dari
profesional (perbuatan salah) tanggung jawab. Sesungguhnya, motivasi utama di belakang profesional
korporasi adalah untuk memberikan jalan bagi kelompok profesional untuk memasukkan
dan dengan demikian menghindari jenis tertentu kewajiban tidak terbatas, namun tetap bertanggung jawab atas
tanggung jawab profesional.
Akhirnya, diketahui bahwa jika persyaratan tertentu dipenuhi, terutama yang berkaitan dengan ukuran dan
jumlah pemegang saham, satu (atau lebih) individu dapat membuat korporasi tetapi pilihan
ke dibea seperti usaha merupakan milik atau kemitraan. Seperti perusahaan, yang berbeda
tidak dalam bentuk organisasi tetapi hanya dalam cara mereka adalah pemilik pajak, dipanggil S perusahaan.
Meskipun S perusahaan yang serupa di banyak cara untuk terbatas kewajiban kemitraan,
LLPs sering menawarkan fleksibilitas dan lebih banyak manfaat kepada pemiliknya, dan ini adalah
menyebabkan banyak perusahaan-perusahaan S dikonversi ke bentuk organisasi LLP.
Apakah perbedaan antara tombol tunggal proprietorships, kemitraan, dan
perusahaan?
Menjelaskan mengapa nilai apapun selain usaha kecil yang sangat mungkin akan
akan maksimal bila terorganisir sebagai korporasi.
Mengidentifikasi hibrida bentuk organisasi dibahas dalam teks, dan menjelaskan
perbedaan di antara mereka.

Kamis, 04 Juni 2009

Undang undang perlindungan anak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang :

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;

b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;

c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;

d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;

e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya;

f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak;

Mengingat :

1. Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277);

4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670);

6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);

7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);



Dengan persetujuan :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA



MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.



BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.

6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.

9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.

12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.

14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.

15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.





BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

a. non diskriminasi;

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. penghargaan terhadap pendapat anak.



Pasal 3

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.





BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN ANAK

Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.



Pasal 5

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. ketidakadilan; dan

f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;

c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

e. pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk :

a. menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.





BAB IV

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB



Bagian Kesatu

Umum



Pasal 20

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.



Bagian Kedua

Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara dan Pemerintah



Pasal 21

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Pasal 22

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 23

(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.

(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 24

Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.



Bagian Ketiga

Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat

Pasal 25

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.



Bagian Keempat

Kewajiban dan Tanggung Jawab
Keluarga dan Orang Tua

Pasal 26

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.





BAB V

KEDUDUKAN ANAK



Bagian Kesatu

Identitas Anak



Pasal 27

(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.

(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.

(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.



Pasal 28

(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.

(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.

(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.





Bagian Kedua

Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran



Pasal 29

(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.

(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.



BAB VI

KUASA ASUH

Pasal 30

(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Pasal 31

(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.

(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan.

(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.

Pasal 32

Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :

a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;

b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan

c. batas waktu pencabutan.



BAB VII

PERWALIAN

Pasal 33

(1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.

(2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.

(4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

(5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 34

Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.

Pasal 35

(1) Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak.

(3) Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat penetapan

Pasal 36

(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.

(2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.





BAB VIII

PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK



Bagian Kesatu

Pengasuhan Anak

Pasal 37

(1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.

(4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan.

(5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial.

(6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 38

(1) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak.



Bagian Kedua

Pengangkatan Anak

Pasal 39

(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.

(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pasal 40

(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.

(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Pasal 41

(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB IX

PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Bagian Kesatu

Agama

Pasal 42

(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.

(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.

Pasal 43

(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.

(2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.



Bagian Kedua

Kesehatan

Pasal 44

(1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.

(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat.

(3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.

(4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 45

(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.

(2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Pasal 46

Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

Pasal 47

(1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.

(2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan :

a. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;

b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan

c. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.



Bagian Ketiga

Pendidikan

Pasal 48

Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.

Pasal 49

Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Pasal 50

Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada :

a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;

b. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;

c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;

d. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan

e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Pasal 51

Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Pasal 52

Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 53

(1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

(2) Pertanggungjawaban pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif.

Pasal 54

Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.





Bagian Keempat

Sosial

Pasal 55

(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.

(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.

(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.

(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.

Pasal 56

(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat :

a. berpartisipasi;

b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;

c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;

d. bebas berserikat dan berkumpul;

e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan

f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

(2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak.

Pasal 57

Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.

Pasal 58

(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.

(2) Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



Bagian Kelima

Perlindungan Khusus

Pasal 59

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 60

Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas :

a. anak yang menjadi pengungsi;

b. anak korban kerusuhan;

c. anak korban bencana alam; dan

d. anak dalam situasi konflik bersenjata.

Pasal 61

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.

Pasal 62

Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui :

a. pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan

b. pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.

Pasal 63

Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.

Pasal 64

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;

c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;

d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;

e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;

f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pasal 65

(1) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.

(2) Setiap orang dilarang menghalang-halangi anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya.

Pasal 66

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 67

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 68

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 69

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya :

a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 70

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya :

a. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;

b. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan

c. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.

(2) Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat.

Pasal 71

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



BAB X

PERAN MASYARAKAT

Pasal 72

(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

Pasal 73

Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



BAB XI

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

Pasal 74

Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.

Pasal 75

(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota.

(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 76

Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :

a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;

b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.



BAB XII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau

b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,

c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 78

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 83

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 84

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 85

(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 86

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 87

Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 88

Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 89

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 90

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.

(2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 91

Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.



BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 92

Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 (satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.

Pasal 93

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 109

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II

Ttd.

Edy Sudibyo

Undang undang perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan

BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1


Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa



Pasal 2


(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu

(2) Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku



Pasal 3


(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan



Pasal 4


(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di tempat tinggalnya

(2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan



Pasal 5


(1) Untuk dapat mengajukan permohonan pada pengadilan, sebagaiman dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat berikut:

a. adanya persetujuan dari istri/istri

b. adalanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

(2) Persetujuan yang dimaksud apada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan









BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6


(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dan atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak dapat menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain



Pasal 7


(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) .Undang-undang ini berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut dalam ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)



Pasal 8


Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antaraseorang saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

c. berhubungan semenda yaitu mertua,anak tiri, menantu, ibu/bapak tiri

d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan

e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang

f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamnya atau peraturn lain yang berlaku dilarang kawin



Pasal 9


Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang Undang ini


Pasal 10


Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi dengan lain yang telah bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mreka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain


Pasal 11


(1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu

(2) tenggang waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut



Pasal 12


Tata cara pelaksanaan perkawina diatur dalam peraturan perundang undangan sendiri



BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 13


Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan



Pasal 14


(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan

(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungan perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengasaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini



Pasal 15


Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini



Pasal 16


(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi

(2) Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan



Pasal 17


(1) Pencegahan perkawinan dajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan









Pasal 18


Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah



Pasal 19


Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut



Pasal 20


Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bia ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 91), Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan



Pasal 21


(1) Jika pegawai pencatan perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan

(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan –alasannya

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah dimana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara yang singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka



BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22


Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat syarat untuk melangsungkan pernikahan



Pasal 23


Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau istri

b. Suami atau istri

c. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dari setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus


Pasal 24


Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini


Pasal 25


Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri



Pasal 26


(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri

(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau sitri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat
pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan diperngaharui supaya sah



Pasal 27


(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum

(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada saat waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri

(3) Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari dari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu, masih dalam tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur



Pasal 28


(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai ketetapan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat dilangsungkannya perkawinan

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu

b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap



BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29


(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- batas hukum, agama, dan kesusilaan

(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

(4) Selama perkawinan berlangsungnya perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan persetujuan tidak merugikan pihak ketiga.





BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Pasal 30


Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat



Pasal 31


(1) .Hak dan kedudukan istri adalah seimang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

(2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum

(3) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.



Pasal 32


(1) Suami istri harus memiliki tempat kediaman yang tetap

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama



Pasal 33


Suami Istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia serta memberi bantuan lahir batin kepada yang lain.
juga tidak ada diskriminasi



Pasal 34


(1) .Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan

(2) Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya

(3) .Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan



BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35


(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain



Pasal 36


(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya







Pasal 37


Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing



BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38


Perkawinan dapat putus karena:

a. kematian

b. perceraian dan

c. atas keputusan pengadilan



Pasal 39


(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri

(3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan peruandangan sendiri



Pasal 40


(1) gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan

(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan pengadilan sendiri



Pasal 41


Akibat putusnya perkawinan karena perkawinan ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri



BAB IX
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42


Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah


Pasal 43


(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah

Pasal 44


(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat perzinahan tersebut

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan


BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45


(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus


Pasal 46


(1) Anak wajib menghormati orang tua dan menta'ati kehendak mereka yang baik

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas bila mereka itu memerlukan bantuan


Pasal 47


Anak yang belum dewasa mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya

Pasal 48


Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendaki


Pasal 49


(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal

a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya

b. ia berkelakuan buruk sekali

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut


BAB XI
PERWALIAN

Pasal 50


(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya










Pasal 51


(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik

(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan hormat menghormati agama anak dan kepercayaan anak itu

(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatan dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu


Pasal 52


Terhadap wali juga berlaku pasal 48 Undang-undang ini


Pasal 53


(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali


Pasal 54


Wali yang telah menyebabkan kerugian harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian itu.


BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama
PEMBUKTIAN ASAL USUL ANAK


Pasal 55

(1) Asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan pejabat yang berwenang

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang memenuhi syarat

(3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan



Bagian Kedua
Perkawinan di luar Indonesia

Pasal 56


(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka





Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran

Pasal 57


Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegaraan Indonesia


Pasal 58


Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan kawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku


Pasal 59


(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata

(2) Perkawinan camouran yang dilangsungkan di indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini


Pasal 60


(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat syarat telah dipenuhi

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak

(4) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan tiu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3)

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak memiliki kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan setelah keterangan itu diberikan



Pasal 61


(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang

(2) Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang pencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan


Pasal 62


Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini









Bagian Keempat
Pengadilan

Pasal 63


(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam undang-undang ini adalah:

a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam

b. Pengadilan umum bagi yang lainnya

(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum


BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64


Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah


Pasal 65


(1) Dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkaan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlaku ketentua-ketentuan berikut:

a. Suami wajb memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya

b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi

c. Semua istri mempunyai hak yang sama atau harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing

(2) Jika pengadilan yang memberi izin untuk menikah lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain maka berlakulah ketentuan ketentuan ayat (1) pasal ini.


BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66


Untuk perkawinan dan segala sesuattu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlike Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers, S 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemeng de Huwelijken S .1898 no 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku


Pasal 67


(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang pelaksanaannya secara selektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah

(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan diatur lebih lajut dengan Peraturan Pemerintah


Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia



Disahkan di Jakarta


pada tanggal 2 Januari 1974

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

;;